PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pernah ada waktu ketika belajar berperan sesuai dengan
jenis kelamin merupakan bagian normal dari proses pertumbuhan, sehingga tak
seorangpun menganggapnya sebagai masalah. Terdapat
pola-pola yang disetujui dan ditentukan secara budaya bagi anak perempuan dan
anak laki-laki dalam hal berfikir, bertindak, berpenampilan, dan berperasaan.
Juga terdapat pola-pola yang disetujui dan ditetapkan bagi anak untuk
mempersiapkan diri akan pola kehidupan dewasa.
Pada saat anak-anak beralih dari
masa bayi ke masa kanak-kanak,lalu masa remaja dan akhirnya ke masa dewasa.
Mereka belajar untuk memainkan peran yang ditentukan ini. Sama halnya seperti
mereka belajar hal lain yang dianggap perlu untuk penyesuaian yang baik pada
pola hidup masa dewasa. Mereka mengetahui dengan tepat pola kehidupan mereka
dan telah siap untuk melaksanakannya dengan berhasil. Karena tidak pernah
terbuka alternatif lain, mereka belajar menerima peran seks mereka, meskipun
sebenarnya mereka mungkin ingin dilahirkan dengan jenis kelamin yang lain.
B.
Tujuan
1. Membahas tentang arti peran seks dan asal mula stereotip
peran seks.
2. Membahas tentang penyebab perubahan peran seks dan
jenis-jenis peran seks.
3. Membahas tentang penanggung jawab atas penentuan peran seks
selama masa kanak-kanak.
4. Membahas tentang metode umum penentuan peran seks.
5. Membahas bahaya dalam perkembangan
peran seks.
C.
Manfaat
1. Agar setiap manusia mengerti arti peran seks.
2. Agar setiap manusia mengerti penyebab perubahan peran seks dan
jenis-jenis peran seks.
3. Agar setiap manusia mengerti siapa penanggung jawab penentuan
peran seks selama masa kanak- kanak.
4. Agar setiap manusia mengerti metode umum penentuan peran seks.
5.
Agar setiap manusia mengerti bahaya dalam perkembangan peran
seks.
PEMBAHASAN
Jangan
beranggapan anak yang bertanya masalah seks berarti ada masalah pada dirinya.
Itu merupakan hal yang wajar, karena merupakan bagian dari tahapan perkembangan
anak. Sebab, sejak usia 4 tahun keingintahuan anak seputar masalah seks akan
terus berkembang, seiring dengan makin berkembangnya kemampuan berfikir dan
munculnya daya kritis dalam diri anak.
Biasanya,
anak-anak akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masalah
seks mulai dari soal perbedaan pria dan wanita sampai proses kehamilan,
kelahiran dan sebagainya. Dan tentu saja
pertanyaan-pertanyaan anak harus dijawab orangtua secara tepat. Semakin banyak pertanyaan yang diajukan
anak, semakin menuntut orangtua untuk belajar lebih banyak lagi. Jangan ragu
untuk membawakan anak bacaan tentang seks dengan isi dan gambar yang sesuai
usia mereka.
Pengertian
seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau
hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan antara laki-laki
dengan perempuan. Karakter
seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda hal ini
seperti pendapat berikut ini : Tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada
laki-laki dan perempuan, pada remaja putra : tumbuh rambut kemaluan, kulit
menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan
pada remaja putri : pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, mulai mengalami
haid.[1]
Tanda-tanda ini yang menunjukkan bahwa
seseorang sudah mulai mengalami puber, terlihat dari perubahan tubuh yaitu
ukuran tubuh, proporsi tubuh juga cirri-ciri seks primer dan cirri-ciri seks
sekunder.
A.
Arti Peran Seks
1.
Aspek Kognitif
Aspek kognitif mencakup persepsi, anggapan dan harapan
orang dari kelompok jenis kelamin pria dan wanita. Anggapan, persepsi, dan harapan
ini sederhana, seringkali kurang berdasar, dan kadang-kadang sebagian tidak
akurat tetapi tetap dipertahankan kuat-kuat oleh banyak orang.
2.
Aspek Afektif
Aspek afektif mencakup sikap ramah maupun tidak ramah umum
terhadap objek sikap dan berbagai perasaan sikap dan berbagai perasaan spesifik
yang memberi warna emosional pada sikap tersebut. Perasaan
ini mungkin berupa kekaguman dan simpati atau rasa superior, iri hati, dan rasa
takut.
3.
Asfek Konatif
Aspek konatif dari semua stereotip mencakup anggapan
mengenai apa yang harus dilakukan berkenaan dengan kelompok yang bersangkutan
dan dengan anggota tertentu kelompok tersebut. Dalam kasus stereotip peran
seks, terdapat anggapan bahwa anggota kelompok seks pria harus bertanggung
jawab atas tugas-tugas yang menuntut kekuatan fisik, dan bahwa anggota jenis
kelamin wanita harus dilindungi terhadap setiap tanggung jawab yang mungkin
membahayakan kondisi fisik mereka yang lebih lemah.
B.
Asal mula Stereotip Peran Seks
1.
Perbedaan Fisik
Pria mempunyai tubuh yang lebih besar, otot yang lebih kuat
dan kekuatan otot yang lebih besar. Wanita mempunyai tubuh yang lebih kecil,
otot yang lebih kecil, kurang bertenaga. Oleh sebab itu pria mampu melakukan
hal-hal yang menuntut tenaga lebih besar, dan wanita melakukan hal-hal yang
lebih membutuhkan keterampilan hasil koordinasi otot yang lebih baik.
2.
Perbedaan Psikologis
Wanita dapat melahirkan anak dan
harus mengalami beberapa ketidaknyamanan periodik pada waktu menstruasi. Bila
menopause terjadi, wanita kehilangan salah satu fungsi fisiologisnya yang
utama, disertai penurunan dorongan seks. Sebaliknya, pria tidak mempunyai
ketidaknyamanan periodik tersebut, mereka tidak mengalami penurunan dorongan
seks, kemampuan membuahi tetap ada, dan satu-satunya peran dalam pembuahan tidak
mengganggu pola kehidupan normal mereka.
P 3. Perbedaan Naluri
Ketika orang percaya bahwa kehidupan seseorang dikendalikan
naluri atau dorongan-dorongan bawaan, naluri keibuan dianggap mendorong wanita
untuk ingin menjadi seorang ibu dan mengisi waktunya dengan mengasuh anak.
Naluri ayah hanya berfungsi sebagai dorongan untuk melindungi anaknya selama mereka tidak mampu melindungi
dirinya.
4.
Perbedaan Kecerdasan
Sampai pergantian abad ini ada anggapan bahwa ukuran otak
dan tingkat inteligensi sangat erat berhubungan. Karena pria pada semua usia
mempunyai otak yang lebih besar dari wanita, mereka dianggap mempunyai
inteligensi yang lebih tinggi.
5.
Perbedaan Prestasi
Sepanjang sejarah, prestasi terbesar dalam seni, musik,
sastra, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lain adalah prestasi kaum pria. Orang
berasumsi bahwa kekuatan dan kemampuan intelektual yang superiorlah yang
memungkinkan prestasi yang lebih tinggi ini.
6.
Perbedaan Emosional
Karena wanita mengalami gangguan periodik pada waktu
menstruasi, ada anggapan bahwa gangguan fisiologis ini akan mengarah ke
gangguan emosional, yang menyebabkan wanita secara emosional tidak stabil.
Sebaliknya pria dianggap emosional stabil, seperti halnya mereka secara
fisiologis stabil.
7.
Perbedaan Kesehatan
Sebutan “jenis yang lebih lemah” diberikan pada wanita
karena kepercayaan bahwa mereka lebih banyak mengalami gangguan fisik dan
penyakit dibandingkan pria. Kondisi fisik yang lebih lemah dihubungkan dengan
tubuh yang lebih kecil dan lemah, menstruasi, dan kehamilan.
8.
Perbedaan Angka Kematian
Kematian wanita pada usia muda
dikaitkan dengan sebab-sebab alami. Kelemahan fisik yang membuat mereka tidak
mampu menghadapi derita proses melahirkan. Tetapi
pada pria, kematian pada usia muda dikaitkan dengan cara hidup mereka yang
lebih berbahaya, bukan dengan sebab-sebab alami. Wanita mencapai usia lebih
tinggi karena kehidupan mereka lebih mudah dan aman, berkat perlindungan pria.
Pria meninggal lebih dini karena mereka bekerja lebih keras dan lebih banyak
dihadapkan pada bahaya dibandingkan wanita.
C.
Penyebab Perubahan Dalam Stereotip Peran Seks
1.
Perubahan Dalam Gaya Hidup
Bilamana suatu budaya berubah dari budaya pedesaan menjadi
budaya kota, tenaga fisik kurang berarti dibandingkan kecakapan. Perbedaan antara kecakapan pria dan wanita jauh lebih kecil dari
perbedaan antara tenaga fisik pria dan wanita.
2.
Gerak Tes Intelegensi
Dimulai dengan pekerjaan Binet pada pergantian abad ini,
tes inteligensi telah sangat meluas bagi semua tingkat usia sehingga tidak
terdapat keraguan sedikit pun sekarang bahwa keyakinan akan superioritas
kecerdasan pria telah diganti dengan bukti kesamaan kecerdasan.
3. Kontroversi Keturunan Lawan Lingkungan
Walaupun kontroversi ini sama sekali belum mereda, banyak
bukti menunjukkan pengaruh lingkungan jauh lebih besar dari yang semula dikira.
Dari telaah lintas budaya terhadap pengaruh lingkungan yang berbeda-beda,
diperoleh bukti bahwa perbedaan antara jenis kelamin lebih disebabkan
pendidikan daripada keturunan.
4.
Pendidikan Yang Sama
Sejak pendidikan yang sama telah menggantikan “pendidikan
anak laki-laki” dan “pendidikan anak perempuan” sejak taman kanak-kanak sampai
universitas, tampak bahwa bilamana anak perempuan diberikan kesempatan
pendidikan yang sama, mereka dapat mencapai hasil akademik yang sama dengan
anak lelaki.
5.
Mobilitas
Bila mobilitas geografis untuk mencapai kemajuan dalam
pekerjaan mengakibatkan suatu keluarga harus berpisah dari sanak saudara, para
ibu tidak lagi dapat bergantung pada sanak saudara wanita untuk bantuan dalam
keadaan darurat. Keadaan ini memaksa banyak pria melakukan tugas-tugas yang
sebelumnya dianggap “tugas wanita”. Ini telah membantu terhapusnya stereotip
pekerjaan yang berkaitan dengan jenis kelamin.
6.
Kecenderungan Berkeluarga Kecil
Kecenderungan akan perkawinan yang lebih dini, keluarga yang
lebih kecil dan kehidupan yang lebih panjang anggota kedua jenis kelamin telah
mendorong wanita untuk beralih dari peran tradisional sebagai isteri dan ibu ke
peran dalam dunia kerja pada saat anak-anak tidak lagi membutuhkan pengasuhan.
7.
Pentingnya Lambang Status
Untuk mencapai mobilitas sosial yang meningkat, suatu
aspirasi yang tersebar luas dalam budaya kini, uang untuk lambang status dan
pendidikan yang lebih tinggi untuk anak menjadi masalah yang tidak selalu dapat
diatasi sendiri oleh kaum pria pencari nafkah. Masuknya wanita ke dalam pasaran
tenaga kerja telah membantu mengatasi masalah tersebut.
8.
Pendidikan Yang lebih Tinggi Bagi Wanita
Dengan terbukanya kesempatan untuk pendidikan yang lebih
tinggi bagi wanita di segala bidang, bahkan juga di bidang yang sebelumnya
tertutup bagi mereka, wanita tidak lagi ingin menghabiskan waktu mereka dengan
pekerjaan yang sesuai dengan peran
tradisionalnya. Sebaliknya mereka memasuki dunia kerja dan mencapai
keberhasilan, yang pada masa lampau tidak mungkin karena rintangan-rintangan
yang ada.
9.
Kesempatan Kerja Yang Sama
Perubahan dalam hukum dan tekanan dari pemerintah untuk
membuka kesempatan kerja bagi wanita telah memungkinkan wanita memegang peranan
dalam dunia usaha, terutama pada tingkat atas dalam dunia bisnis, industri, dan
profesi.
10.
Statistik Kesehatan
Dan Kematian
Statistik kesehatan dan kematian telah mengungkapkan bahwa
wanita yang melampaui usia 50 tahun atau lebih tidak lebih banyak menderita
penyakit dari pria pada usia yang sama, dan bahwa wanita sebagai suatu kelompok
hidup lebih lama dari pria. Statistik ini telah membantu menghapuskan stereotip
wanita sebagai “jenis yang lebih lemah.”
11.
Prestasi Wanita
Bila diberikan pendidikan yang sama, dan kesempatan yang
sama untuk menggunakan pendidikannya, serta diberikan dorongan, wanita dari
semua usia sejak taman kanak-kanak hingga pensiun mencapai keberhasilan yang
sama besar seperti pria dengan pendidikan dan kesempatan yang sebanding. Dalam kegiatan akademis maupun ekstrakurikuler di sekolah dan universitas,
wanita menyamai atau melebihi pria. Rintangan di bidang bisnis, industri, dan
profesi telah membatasi prestasi wanita di dunia orang dewasa, tetapi bila
rintangan tersebut dihilangkan, prestasi wanita ternyata setaraf dengan
prestasi pria.
- Jenis Peran Seks
1.
Peran Seks Tradisional
Stereotip yang mendasari peran seks
pria dan wanita tradisional merupakan perwujudan prinsip dasar bahwa ada
perbedaan antara kedua jenis kelamin. Kedua jenis itu tidak saja berbeda,
tetapi mereka juga berbeda dalam bidang yang penting bagi kesejahteraan Jan
kemajuan kelompok sosial, tempat melekat mengidentifikasi diri. Tambahan pula
perbedaan ini mengunggulkan jenis kelamin pria.
Karena dianggap lebih superior,
telah menjadi keyakinan umum bahwa pria dapat dan harus memberi sumbangan
berbeda kepada kelompok sosial daripada wanita dan bahwa sumbangan pria lebih
superior dari sumbangan wanita. Untuk mampu memberi sumbangan sesuai dengan
kemampuan, ke dua jenis harus belajar memainkan peran yang diberikan sebaik
mungkin, tanpa mempedulikan minat dan kemampuan pribadi. Untuk memerankan peran
ini dengan baik kedua jenis harus menampilkan citra yang disetujui untuk
jenisnya, mereka harus menghindari setiap perilaku yang tidak sesuai bagi
jenisnya, walaupun hal itu sesuai untuk anggota jenis yang lain, dan mereka
harus menunjukkan sikap tidak toleran dan mencemoohkan mereka yang tidak
menyesuaikan diri dengan peran seks yang disetujui, sebagai cara memotivasi
mereka untuk mengadakan penyesuaian.
2.
Peran Seks Yang Sederajat
Stereotip dari peran seks yang sederajat di-dasarkan atas
prinsip dasar bahwa perbedaan antara jenis kelamin jauh lebih sedikit dan pada
yang dikira sebelumnya dan bahwa perbedaan yang ada tidak penting dalam
masyarakat di mana teknologi telah menggantikan peran yang sebelumnya dipegang
tenaga fisik.
Karena pola kehidupan telah menjadi lebih kompleks dari
sebelumnya, kelompok, budaya membutuhkan sumbangan yang lebih beragam dari yang
diperlukan pada saat pola kehidupan masih sederhana. Akibatnya, kedua jenis
dapat memberi sumbangan pada kesejahteraan dan kemajuan kelompok. Walaupun
sumbangan mereka berbeda, sumbangan kedua jenis kelamin berharga dan tidak ada
bukti bahwa kelompok pria memberi sumbangan yang lebih berharga dari kelompok
wanita dan sebaliknya. Melalui sumbangan yang berbeda inilah kemajuan mungkin
terjadi.
Untuk memberikan sumbangan pada kelompok, yang memang harus
dan dapat dilakukan anggota kedua jenis, sumbangan itu tidak perlu diberikan.
Menurut pola tertentu. Masing-masing individu harus bebas mengembangkan minat
dan kemampuannya. Di samping itu karena kedua jenis dapat memberi sumbangan
pada kesejahteraan dan kemajuan kelompok, mereka harus diberi kesempatan yang
sama untuk menyumbang sesuai dengan kemampuannya. Mereka juga harus diberi
pelatihan yang dibutuhkan bagi sumbangan itu, tanpa memandang jenis kelamin.
Secara umum, peran seks sederajat (egalitarian)
menghapuskan penekanan pada perbedaan ekstrem antara jenis kelamin. Penekanan ini khas bagi stereotip peran seks tradisional. Peran
tradisional dimodifikasi sedemikian rupa hingga peran wanita condong ke arah
peran pria dan sebaliknya peran pria condong ke arah peran wanita. Akibatnya
peran-peran ini bertemu di tengah dengan lebih banyak unsur persamaan daripada
perbedaan.
E.
Penanggungjawab Atas Penentuan
Peran Seks Selama Masa Kanak-kanak
1.
Orang Tua
Walaupun kedua orang tua memegang peranan penting dalam
penentuan peran seks anak, peranan mereka beragam bergantung dari jenis kelamin
dan usia anak. Karena ibu lebih banyak bertanggung jawab dalam pendidikan anak
selama awal masa hidupnya dibandingkan ayah, penentuan peran seks lebih
dilakukan ibu dari ayah pada saat itu. Berapa
besarnya pengaruh ayah kelak pada penentuan peran seks anak akan bergantung
sebagian pada hubungan ayah dengan anaknya dan sebagian pada jenis kelamin
anak.
Selama awal masa kanak-kanak, para
ibu cenderung lebih berminat untuk mengasuh anak dari para ayah. Akibatnya,
hubungan ibu dengan anak lebih baik. Ini mendorong anak untuk lebih dipengaruhi
ibunya daripada ayahnya. Hal ini berlaku pada anak laki-laki maupun perempuan.
Bagaimana anak bereaksi terhadap orang tuanya juga mempengaruhi pengaruh orang
tua pada penentuan peran seks anak. Contohnya, bila anak, baik laki-laki maupun
perempuan, menunjukkan ketergantungan pada orang tua, orang tua cenderung
memperkuat ketergantungan tersebut. Karena para ibu sebagai suatu kelompok,
lebih mendorong ketergantungan dari ayah, anak laki-laki dan perempuan
cenderung menjadi lebih tergantung ketimbang mandiri dan agresif. Inilah suatu
ciri yang sesuai dengan jenis bagi anak perempuan, namun tidak sesuai bagi anak
laki-laki, menurut stereotip peran seks yang tradisional.
2.
Para Guru
Seperti halnya orang tua, berapa
besarnya pengaruh para guru pada penentuan peran seks anak bergantung pada
kualitas hubungan antara guru dan murid dan pada gengsi yang dikaitkan pada
para guru. Sebagaimana diterangkan dalam bab terdahulu, dalam pembahasan minat
anak pada sekolah, salah satu penyebab merosotnya minat pada sekolah ialah
memburuknya hubungan antara murid dan guru.
Selama tahun prasekolah, guru
kelompok bermain dan taman kanak-kanak berperan sebagai pengganti orang tua.
Dalam peran ini, terdapat kehangatan dalam hubungan murid-guru yang menyerupai
hubungan orang tua-anak. Hubungan yang menyenangkan ini mendorong anak untuk
ingin meniru gurunya dan untuk belajar apa yang diajarkan guru padanya, baik
yang berupa kecakapan bermain maupun yang berupa cara bergaul dengan teman
sebaya.
Kemerosotan hubungan murid guru '
berjalan sejajar dengan penurunan minat pada sekolah. Di kelas dua, banyak anak
mulai merasa bosan dengan sekolah atau benar-benar tidak menyukainya. Perasaan
tidak suka sekolah meluas sampai ke para guru. Akibatnya, hubungan yang
sebelumnya hangat dan erat menjadi tegang, dan sering merupakan hubungan yang
antogenistis. Dalam kondisi seperti itu pengaruh guru atas penentuan peran seks
berkurang.
Sebagian dari hubungan yang tegang
dan antagonistis ini dapat ditelusuri kehilangan gengsi guru di mata muridnya.
Karena anak menemukan bahwa gengsi rendah dikaitkan dengan pekerjaan mengajar
dan pada wanita sebagai suatu kelompok, suatu sikap yang datang dari
mempelajari arti stereotip peran seks, mudah dimengerti bahwa hubungan murid-guru
yang buruk akan berkembang. Ini terutama mungkin sekali terjadi di antara anak
laki-laki yang cenderung mempunyai pandangan negatif terhadap mengajar dan
wanita.
Apakah para guru akan mendorong
penentuan peran seks tradisional atau sederajat akan sebagian bergantung pada
sikap mereka sendiri terhadap jenis peran seks tersebut, tetapi terutama pada
keyakinan mereka mengenai dorongan yang dikehendaki orang tua murid. Hal ini
dalam batas tertentu bergantung pada masyarakat setempat. Dalam masyarakat yang
sebagian besar ibunya bekerja di luar rumah, ada alasan untuk menganggap bahwa
orang tua tidak terlalu kuatir bila anaknya belajar stereotip peran seks yang
sederajat, berbeda dengan masyarakat yang pola hidupnya dikendalikan oleh peran
seks tradisional.
3.
Teman Sebaya
Anggota kelompok teman sebaya, sebagaimana ditunjukkan
sebelumnya, belum mulai mempunyai pengaruh pada penentuan peran seks anak
sampai terdapat interaksi antara anak dan teman sebayanya. Pada awal hubungan dengan teman sebaya hanya terjadi sedikit interaksi.
Anak bermain berdampingan dengan anak lain, tetapi hampir tidak ada kerja sama.
Demikian juga hampir tidak ada komunikasi. Bila berbicara, mereka biasanya
berbicara tentang apa yang dikerjakannya tetapi tidak berusaha untuk
berkomunikasi dengan anak lain yang berada di dekatnya.
Menjelang akhir masa kanak-kanak, interaksi
bermain muncul dan komunikasi antar-teman bermain mulai ada. Bila hal ini
terjadi, teman sebaya mulai mempengaruhi penentuan peran seks anak. Pengaruh
ini mungkin berupa peniruan perilaku salah satu teman sebaya atau mungkin
berupa identifikasi dengan teman sebaya. Contohnya, terdapat hubungan yang
hangat dan erat antara seorang anak dengan temannya, tiap anak ingin men-jadi
seperti anak yang lainnya. Jika keduanya telah ditentukan peran seksnya di
rumah berupa stereotip peran seks sama, tradisional atau sederajat interaksi
anak dengan temannya akan memperkuat penentuan peran seks yang dimulai di
rumah. Sebaliknya, bila mereka telah mengalami penentuan peran seks yang
berbeda di rumah, anak yang akan menjadi contoh atau mempengaruhi teman sebaya
adalah anak yang lebih dominan dalam hubungan bermain itu.
- Metode Umum Penentuan Peran Seks
1.
Meniru
Bila anak belajar memerankan peran
seks dengan meniru, mereka melakukannya dengan meniru cara bicara, perilaku dan
ciri-ciri pribadi maupun minat dan nilai orang yang ditiru. Metode belajar ini
terutama umum selama awal masa kanak-kanak ketika anak cenderung meniru siapa
saja yang penting baginya dan dengan siapa mereka sering bergaul. Model yang
biasa ditiru adalah orang tua, saudara yang lebih tua atau orang lain yang
mengasuh-nya seperti guru kelompok bermain atau guru taman kanak-kanak.
2.
Identifikasi
Anak bukannya meniru orang-orang dalam lingkungannya,
melainkan memilih dari antara mereka seorang yang sangat dikaguminya atau yang
sangat disayanginya sebagai modelnya. Pertama-tama model
mungkin salah satu orang tuanya atau saudara yang lebih tua yang baik
terhadapnya. Kemudian model ini mungkin lebih sering tokoh luar rumah, terutama
tokoh media massa, pemimpin masyarakat atau negara, juara olah raga.
3.
Pelatihan Anak
Dalam penentuan peran seks lewat pelatihan anak belajar
bertindak, berpikir, dan merasa seperti yang diharapkan orang yang berwewenang.
Mereka mungkin diberitahu mengapa mereka harus berbuat demikian, atau mungkin
juga mereka diharuskan patuh secara buta. Kadang-kadang penghargaan diberikan
jika harapan orang yang berwewenang terpenuhi sedangkan kadang-kadang dianggap
sudah seharusnya mereka memenuhi harapan ini. Hukuman berbentuk ketidaksetujuan
banyak digunakan untuk ketidakpatuhan. Pelatihan anak, terutama menekankan
aspek negatif peran seks daripada aspek yang positif. Contohnya anak laki-laki
diberitahu bahwa “laki-laki tidak menangis,” tetapi mereka tidak diberitahu apa
yang harus mereka lakukan bila mereka merasa sakit, frustasi, atau kecewa.
G.
Bahaya Dalam Perkembangan Peran
Seks
Terdapat banyak bahaya serius di bidang perkembangan peran
seks. Alasannya ialah bahwa bahkan dalam budaya, di mana pola kehidupan bagi
semua orang berubah dengan cepat dan radikal, perubahan dalam peran seks
cenderung lebih lamban dari perubahan lainnya Kelambanan ini, setidak-tidaknya
sebagian, disebabkan keengganan di pihak pria untuk melepaskan status
superioritas yang dinikmatinya sejak berabad-abad.
Keengganan ini diperkuat oleh kesadaran bahwa superioritas
yang diperoleh karena prestasi kadang-kadang dapat diraih oleh anggota jenis
yang secara tradisional dianggap inferior. Berbagai suatu status yang dianggap
sudah menjadi haknya atau melepaskannya kepada mereka yang dianggap inferior
selalu merupakan pengalaman yang menciutkan ego.
Bila perubahan terjadi, suatu
periode ketaksaan mengenai pola perilaku yang disetujui terjadi. Hal ini
memperbesar masalah penyesuaian yang biasanya telah ada. Sampai kelompok sosial
bersangkutan menerima suatu pola penentuan peran seks yang konsisten bagi anak
sebagai pedoman bagi mereka yang bertanggung jawab atas pelatih-an anak,
anak-anak akan dirugikan karena harus menghadapi lebih banyak masalah dalam
penyesuaian pribadi dan sosial mereka. Andaikan konsistensi yang lebih besar
dalam pola penentuan peran seks yang disetujui telah ada, masalah-masalah
penyesuaian akan berkurang.
PENUTUP
Pendidikan seks sejak dini sangat penting di berikan oleh orangtua kepada anak. karena anak zaman sekarang rasa ingin tahunya bsar. kadang ada orangtua yang menjawab pertanyaan hal semacam itu dengan sekenanya saja. tanpa disadari orangtua sudah memberikan pendidikan seks yang salah dan akan berakibat pada perkembangan anak.
Peran seks ialah pola perilaku bagi individu kedua
jenis kelamin yang disetujui dan diterima kelompok, dengan siapa individu
diidentifikasikan. Stereotip peran seks didasarkan pada keyakinan
fundamental bahwa pria lebih superior dari wanita karena superioritas fisik dan
fisiologisnya. Keyakinan ini meluas ke seluruh bidang kemampuan dan
kecakapan lainnya. Penentuan peran seks terjadi lewat tiga metode belajar
yang umum, yaitu peniruan,identifikasi dan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi
Perkembangan, edisi kelima. Jakarta : Erlangga. Sex Education for
Children, Panduan Islam Bagi Orangtua dalam Pendidikan Seks Untuk Anak.
Yusuf Madam, Profesor pada Ays Syam University, Mesir.



