PENDAHULUAN
Pada
zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami gangguan mental, seperti gangguan
kecemasan, trauma, stres, dan depresi. Apabila tidak segera ditangani
akan membebani konseli sehingga memiliki beban pikiran yang dapat mengganggu aktifitas
konseli. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan banyaknya
masalah – masalah yang terjadi di masyarakat, para ahli membuat model – model
terapi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi konseli seperti tekhnik biblio
terapi ini. Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat
ini, yang mendapat perhatian serius. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020
nanti depresi akan menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan
depresi berat akan menjadi penyebab kedua tersbesar kematian setelah serangan
jantung.[1]
Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter
keluarga di Kirklees, West Yorkshire,
ini akan mempertemukan penderita depresi dengan “biblioterapis” dari
perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi
buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien
tertentu. Diharapkan dengan buku yang sesuai pasien akan mendapatkan inspirasi
dan menjadi lebih bersemangat. Buku merupakan media untuk mendapatkan wawasan,
pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media
terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan
kecemasan, trauma, dan stres.
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman
Yunani Kuno. Di atas gedung Perpustakaan Thebes
terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan dibawahnya ada
manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of the soul). Ide
pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat
dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan
kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi
model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti
buku atau bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi,
biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan
berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang
positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Secara medis, pemikiran Plato
diteruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan - percobaan
medis, keduanya berkesimpulan bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses
konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya
hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (insight). Para dokter di Inggris
membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk pengembangan model terapi ini.
Perkembangan biblioterapi berjalan pesat setelah Perang Dunia I. Rumah sakit
mendirikan perpustakaan untuk mengembalikan kondisi psikis para tentara yang
cacat akibat perang. American Library Association (ALA) melaporkan metode ini
telah membantu 3.981 tentara untuk menerima kondisi yang dialaminya.
Sebagian besar dari kita sebenarnya
telah menerapkan terapi membaca. Biblioterapi sering kita gunakan untuk pencarian
jati diri melalui dunia yang ada dalam halaman-halaman buku yang baik. Kita
merasa terlibat dalam karakter tokoh utama yang ada di sana. Acapkali kita
sering menutup sampul sembari tersenyum setelah mendapatkan inspirasi dan ide
baru dari buku. Itulah tujuan dari biblioterapi, yaitu mendampingi seseorang
yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dia
hadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat. Kisah
dalam buku akan membantu mereka untuk menyelami hidupnya sehingga mampu
memutuskan jalan keluar yang paling mungkin bisa diambil.
Dalam memilih strategi, konselor
hendaknya mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan , misalnya: ciri klien, jenis masalah, dan harapan
konseli dalam konseling. Salah satu strategi yang menjadi alternatif
pilihan konseling adalah biblioterapi
yang menggunakan bahan pustaka. Biblioterapi yang sudah dirancang oleh konselor
dengan mempertimbangkan tujuan, ciri konseli, material, sasaran, metode, dan
evaluasi akan membantu konseli memperoleh informasi tentang masalah – masalah
yang dihadapinya. Perolehan informasi tersebut dapat mengubah tingkah laku
apabila konseli benar – benar mematuhinya.
1.
Pengertian
biblio terapi
Biblioterapi
adalah program membaca terarah yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman
pasien dengan dirinya sendiri dan untuk memperluas cakrawala budayanya serta
memberikan beranekaragam pengalaman emosionalnya. Bacaan – bacaan seperti itu
biasanya diarahkan secara umum oleh terapis. Terapi dengan membaca ini utamanya digunakan untuk menyembuhkan penderita
stres, depresi dan kegelisahan (anxiety). Terapi ini menggunakan ruangan di
perpustakaan dengan berbagai macam buku yang sifatnya memberi motivasi kepada
pasien.
Pemanfaatan
buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan
biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu
seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat
dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan
permasalahannya secara verbal.
2.
Cara Pelaksanaan/ Tahapan
Cara kerjanya adalah dengan berbincang dengan pasien,
lalu menawarkan buku yang tepat baginya. Di Inggris, ahli medis dan pustakawan
telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi
baru menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan.
Dalam
penerapan biblioterapi konseli sebaiknya melewati tiga tahapan berikut ini:
a.
Identifikasi, konseli mengidentifikasi dirinya dengan
karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata atau
fiksi. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat maka konseli akan mendapatkan
karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya.
b.
Katarsis, konseli menjadi terlibat secara emosional
dalam kisah dan menyalurkan emosi-emosi yang terpendam dalam dirinya secara
aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni).
c.
Wawasan Mendalam (insight), setelah katarsis konseli
(dengan bantuan pembimbing) menjadi sadar bahwa permasalahannya bisa disalurkan
atau dicarikan jalan keluarnya. Permasalahan konseli mungkin saja dia temukan
dalam karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikannya dia bisa
mempertimbangkan langkah-langkah yang ada dalam cerita buku.
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan
biblioterapi, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok:
a.
awali dengan motivasi. konselor dapat memberikan
kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat
memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konselingi.
b.
berikan waktu yang cukup. konselor mengajak peserta
untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan,
terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c.
Lakukan inkubasi. konselor memberikan waktu pada
peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
d.
Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan
dengan metode diskusi. Lewat diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling
bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu
peserta untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e.
Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri
oleh peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas
dan memahami arti peengalaman yang dialami.
3.
Aplikasi biblioterapi
a.
Identifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli. Tugas ini
dilakukan melalui pengamatan, berbincang dengan orangtua, penugasan untuk
menulis, dan pandangan dari sekolah atau fasilitas-fasilitas yang berisi rekam
hidup konseli.
b.
Sesuaikan konseli dengan bahan-bahan bacaan yang
tepat. Carilah buku yang berhubungan dengan perceraian, kematian keluarga, atau
apapun yang dibutuhkan yang telah diidentifikasi. Jagalah hal-hal ini dalam
ingatan:
Ø Buku harus
sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli.
Ø Tulisan
harus menarik dan melatih klien untuk lebih dewasa.
Ø Tema bacaan
seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari konseli.
Ø Karakteristik
seharus dapat dipercaya dan mampu memunculkan rasa empati.
Ø Alur kisah
seharusnya realistis dan melibatkan kreativitas untuk menyelesaian masalah.
c.
Putuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana sesi
diperkenalkan pada konseli.
d.
Rancanglah aktivitas-aktivitas tindak lanjut setelah
membaca, seperti diskusi, menulis makalah, menggambar, dan drama.
e.
Motivasi konseli dengan aktivitas pengenalan seperti
mengajukan pertanyaan untuk menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
f.
Libatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau
mendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan mulaialah berdiskusi kecil
tentang bacaan. Secara berkala, simpulkan apa yang terjadi secara panjang
lebar.
g.
Berilah waktu jeda beberapa menit agar klien bisa
merefleksikan materi bacaannya.
Kenalkan
aktivitas tindak lanjut:
Ø Menceritakan
kembali kisah yang dibaca
Ø Diskusi
mendalam tentang buku, misalnya diskusi tentang benar dan salah, moral, hukum,
letak kekuatan dan kelemahan dari karakter utama dan lain-lain.
Ø Aktivitas
seni seperti menggambar ilustasi persitiwa kisah, membuat kolase dari foto
majalah dan berita utama untuk mengilustrasikan peristiwa-peristiwa dalam
kisah, melukis gambar peristiwa).
Ø Menulis
kreatif, seperti menyelesaikan kisah dalam cara yang berbeda, mengkaji
keputusan dari karakter.
Ø Drama,
seperti bermain peran, merekonstruksi kisah dengan wayang yang dibuat selama
aktivitas seni, yang menjadi coba-coba dalam karakter.
h.
Dampingi konseli untuk meraih penutupan melalui
diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
4.
Kasus yang ditangani sesuai dengan tekhnik
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa penyebab masalah
yang dihadapi oleh konseli terbagi atas dua penyebab, yaitu : pertama, penyebab yang mempengaruhi, dan
kedua ; penyebab yang menggerakkan. Kekuatan penyebab pertama menjadukan
penyebab kedua mendorong konseli untuk menuju pada kenakalan. Jenis atau
tingkat masalah yang dapat diselesaikan dengan tekhnik biblioterapi adalah :
a.
Masalah
keseharian,
b.
Masalah
pendidikan,
c.
Masalah
pekerjaan,
d.
Masalah
kesehatan,
e.
Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar
yang efektif, sulit menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap asertif,
kurang percaya diri, sulitmenurunkan berat badan, menghilangkan kebiasaan
merokok atau ketergantungan pada alkohol.
5.
Kekuatan dan kelemahan
a.
Kekuatan tekhnik
Lewat
membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh
dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan
simbol dan huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti
rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong
sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut
Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat
tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.
Ø Pada tingkat
intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat
memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan
intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam
menangai masalah.
Ø Pada tingkat
sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai
referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan
pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
Ø Pada tingkat perilaku individu akan mendapatkan
kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan
akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong
untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Ø Pada tingkat
emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran
menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi
terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga
merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
b.
Kelemahan tekhnik
Meskipun biblioterapi mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya
digunakan terbatas pada saat di mana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat
yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara
mendalam. Masalah-masalah mendalam yang terbaik dilayani melalui intervensi
terapi lebih intensif. Konseli usia anak-anak mungkin belum bisa melihat diri
lewat cermin sastra dan literatur pun
bisa sebatas untuk tujuan melarikan diri saja. Lainnya mungkin cenderung untuk
merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain
mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata. Namun,
pengalaman ini mengganti dengan karakter sastra terbukti membantu banyak
konseli.
PENUTUP
Pada dasarnya semua tekhnik dalam Bimbingan dan Konseling kegunaannya
adalah sama untuk menyelesaikan masalah konseli itu sendiri. Tapi, untuk
menyelesaikan masalah itu tidak secara tiba – tiba menggunakan teknik yang ada
tetapi masalah konseli harus diidentifikasi dulu agar konselor bisa menggunakan
teknik yang sesuai dengan masalah konseli.
Dengan demikian, konselor haruslah memahami betul teknik – teknik agar
menjadikan konselor yang berwawasan luas dan profesional.
Dengan menulis artikel ini
saya dapat mengetahui kegunaan buku sebagai media untuk terapi konseli itu
sendiri yaitu dengan disebut biblio terapi. Demikian yang dapat saya
paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini, tentunya
masih banyak kekurangannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan tekhnik ini. Artikel ini
berguna bagi kita semua calon – calon konselor masa depan.
[1]
[1] Lubis
Lumongga Namora, Depresi Tinjauan Psikologis,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.2.

