Teknik Biblioterapi


PENDAHULUAN
Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, stres, dan depresi. Apabila tidak segera ditangani akan membebani konseli sehingga memiliki beban pikiran yang dapat mengganggu aktifitas konseli. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan banyaknya masalah – masalah yang terjadi di masyarakat, para ahli membuat model – model terapi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi konseli seperti tekhnik biblio terapi ini. Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat ini, yang mendapat perhatian serius. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti depresi akan menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua tersbesar kematian setelah serangan jantung.[1]
Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter keluarga di Kirklees, West Yorkshire, ini akan mempertemukan penderita depresi dengan “biblioterapis” dari perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien tertentu. Diharapkan dengan buku yang sesuai pasien akan mendapatkan inspirasi dan menjadi lebih bersemangat. Buku merupakan media untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres.
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan dibawahnya ada manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of the soul). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi, biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Secara medis, pemikiran Plato diteruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan - percobaan medis, keduanya berkesimpulan bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (insight). Para dokter di Inggris membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk pengembangan model terapi ini. Perkembangan biblioterapi berjalan pesat setelah Perang Dunia I. Rumah sakit mendirikan perpustakaan untuk mengembalikan kondisi psikis para tentara yang cacat akibat perang. American Library Association (ALA) melaporkan metode ini telah membantu 3.981 tentara untuk menerima kondisi yang dialaminya.
Sebagian besar dari kita sebenarnya telah menerapkan terapi membaca. Biblioterapi sering kita gunakan untuk pencarian jati diri melalui dunia yang ada dalam halaman-halaman buku yang baik. Kita merasa terlibat dalam karakter tokoh utama yang ada di sana. Acapkali kita sering menutup sampul sembari tersenyum setelah mendapatkan inspirasi dan ide baru dari buku. Itulah tujuan dari biblioterapi, yaitu mendampingi seseorang yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dia hadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat. Kisah dalam buku akan membantu mereka untuk menyelami hidupnya sehingga mampu memutuskan jalan keluar yang paling mungkin bisa diambil.
Dalam memilih strategi, konselor hendaknya mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan , misalnya:  ciri klien, jenis masalah, dan harapan konseli dalam konseling. Salah satu strategi yang menjadi alternatif pilihan  konseling adalah biblioterapi yang menggunakan bahan pustaka. Biblioterapi yang sudah dirancang oleh konselor dengan mempertimbangkan tujuan, ciri konseli, material, sasaran, metode, dan evaluasi akan membantu konseli memperoleh informasi tentang masalah – masalah yang dihadapinya. Perolehan informasi tersebut dapat mengubah tingkah laku apabila konseli benar – benar mematuhinya.
1.      Pengertian biblio terapi
Biblioterapi adalah program membaca terarah yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman pasien dengan dirinya sendiri dan untuk memperluas cakrawala budayanya serta memberikan beranekaragam pengalaman emosionalnya. Bacaan – bacaan seperti itu biasanya diarahkan secara umum oleh terapis. Terapi dengan membaca ini utamanya digunakan untuk menyembuhkan penderita stres, depresi dan kegelisahan (anxiety). Terapi ini menggunakan ruangan di perpustakaan dengan berbagai macam buku yang sifatnya memberi motivasi kepada pasien.
Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal.

2.      Cara Pelaksanaan/ Tahapan
Cara kerjanya adalah dengan berbincang dengan pasien, lalu menawarkan buku yang tepat baginya. Di Inggris, ahli medis dan pustakawan telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi baru menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan.
Dalam penerapan biblioterapi konseli sebaiknya melewati tiga tahapan berikut ini:
a.       Identifikasi, konseli mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata atau fiksi. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat maka konseli akan mendapatkan karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya.
b.      Katarsis, konseli menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan menyalurkan emosi-emosi yang terpendam dalam dirinya secara aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni).
c.       Wawasan Mendalam (insight), setelah katarsis konseli (dengan bantuan pembimbing) menjadi sadar bahwa permasalahannya bisa disalurkan atau dicarikan jalan keluarnya. Permasalahan konseli mungkin saja dia temukan dalam karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikannya dia bisa mempertimbangkan langkah-langkah yang ada dalam cerita buku.
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan biblioterapi, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok:
a.       awali dengan motivasi. konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konselingi.
b.      berikan waktu yang cukup. konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c.       Lakukan inkubasi. konselor memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
d.      Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e.       Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti peengalaman yang dialami.
3.      Aplikasi biblioterapi
a.       Identifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli. Tugas ini dilakukan melalui pengamatan, berbincang dengan orangtua, penugasan untuk menulis, dan pandangan dari sekolah atau fasilitas-fasilitas yang berisi rekam hidup konseli.
b.      Sesuaikan konseli dengan bahan-bahan bacaan yang tepat. Carilah buku yang berhubungan dengan perceraian, kematian keluarga, atau apapun yang dibutuhkan yang telah diidentifikasi. Jagalah hal-hal ini dalam ingatan:
Ø  Buku harus sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli.
Ø  Tulisan harus menarik dan melatih klien untuk lebih dewasa.
Ø  Tema bacaan seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari konseli.
Ø  Karakteristik seharus dapat dipercaya dan mampu memunculkan rasa empati.
Ø  Alur kisah seharusnya realistis dan melibatkan kreativitas untuk menyelesaian masalah.
c.       Putuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana sesi diperkenalkan pada konseli.
d.      Rancanglah aktivitas-aktivitas tindak lanjut setelah membaca, seperti diskusi, menulis makalah, menggambar, dan drama.
e.       Motivasi konseli dengan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan untuk menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
f.       Libatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau mendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan mulaialah berdiskusi kecil tentang bacaan. Secara berkala, simpulkan apa yang terjadi secara panjang lebar.
g.      Berilah waktu jeda beberapa menit agar klien bisa merefleksikan materi bacaannya.
Kenalkan aktivitas tindak lanjut:
Ø  Menceritakan kembali kisah yang dibaca
Ø  Diskusi mendalam tentang buku, misalnya diskusi tentang benar dan salah, moral, hukum, letak kekuatan dan kelemahan dari karakter utama dan lain-lain.
Ø  Aktivitas seni seperti menggambar ilustasi persitiwa kisah, membuat kolase dari foto majalah dan berita utama untuk mengilustrasikan peristiwa-peristiwa dalam kisah, melukis gambar peristiwa).
Ø  Menulis kreatif, seperti menyelesaikan kisah dalam cara yang berbeda, mengkaji keputusan dari karakter.
Ø  Drama, seperti bermain peran, merekonstruksi kisah dengan wayang yang dibuat selama aktivitas seni, yang menjadi coba-coba dalam karakter.
h.      Dampingi konseli untuk meraih penutupan melalui diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
4.      Kasus yang ditangani sesuai dengan tekhnik
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa penyebab masalah yang dihadapi oleh konseli terbagi atas dua penyebab, yaitu :  pertama, penyebab yang mempengaruhi, dan kedua ; penyebab yang menggerakkan. Kekuatan penyebab pertama menjadukan penyebab kedua mendorong konseli untuk menuju pada kenakalan. Jenis atau tingkat masalah yang dapat diselesaikan dengan tekhnik biblioterapi adalah :
a.       Masalah keseharian,
b.      Masalah pendidikan,
c.       Masalah pekerjaan,
d.      Masalah kesehatan,
e.       Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar yang efektif, sulit menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap asertif, kurang percaya diri, sulitmenurunkan berat badan, menghilangkan kebiasaan merokok atau ketergantungan pada alkohol.  
5.      Kekuatan dan kelemahan
a.       Kekuatan tekhnik
Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.
Ø  Pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
Ø  Pada tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
Ø  Pada  tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Ø  Pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
b.    Kelemahan tekhnik
Meskipun biblioterapi mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya digunakan terbatas pada saat di mana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara mendalam. Masalah-masalah mendalam yang terbaik dilayani melalui intervensi terapi lebih intensif. Konseli usia anak-anak mungkin belum bisa melihat diri lewat cermin sastra dan literatur  pun bisa sebatas untuk tujuan melarikan diri saja. Lainnya mungkin cenderung untuk merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata. Namun, pengalaman ini mengganti dengan karakter sastra terbukti membantu banyak konseli.

PENUTUP

Pada dasarnya semua tekhnik dalam Bimbingan dan Konseling kegunaannya adalah sama untuk menyelesaikan masalah konseli itu sendiri. Tapi, untuk menyelesaikan masalah itu tidak secara tiba – tiba menggunakan teknik yang ada tetapi masalah konseli harus diidentifikasi dulu agar konselor bisa menggunakan teknik yang sesuai dengan masalah konseli.  Dengan demikian, konselor haruslah memahami betul teknik – teknik agar menjadikan konselor yang berwawasan luas dan profesional.
            Dengan menulis artikel ini saya dapat mengetahui kegunaan buku sebagai media untuk terapi konseli itu sendiri yaitu dengan disebut biblio terapi. Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini, tentunya masih banyak kekurangannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan tekhnik ini. Artikel ini berguna bagi kita semua calon – calon konselor masa depan.


[1] [1] Lubis Lumongga Namora, Depresi Tinjauan Psikologis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.2.

EMOSI DAN TINGKAH LAKU REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN

Masa remaja secara tradisional dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, dimana pada masa itu emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Namun tidak semua remaja menjalani masa badai dan tekanan, namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Pola emosi masa remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak. Jenis yang secara normal dialami adalah : cinta atau kasih sayang, gembira, amarah, takut, sedih dan lainnya lagi. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Rasa takut atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah atau tekanan darah, dan sistem pencernaan mungkin berubah selama pemunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak senang akan menghambat atau mengganggu proses pencernaan. Peradangan di dalam perut atau lambung, diare, dan sembelit adalah keadaan-keadaan yang dikenal karena terjadinya berhubungan dengan gangguan emosi.
Keadaan emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan. Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan dalam berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Banyak situasi yang timbul di sekolah atau dalam suatu kelompok yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tenang.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, namun bisa juga disebabkan sesuatu yang terjadi pada saat sehubungan dengan situasi kelas. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Anak sekolah akan belajar efektif apabila ia termotivasi, karena ia perlu belajar. Setelah hal ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk dapat menguasai bahan yang ia pelajari. Reaksi setiap pelajar tidak sama, oleh karena itu rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan begitu, rangsangan-rangsangan yang menhasilkan perasaan yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa dalam belajar.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Emosi
Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan disertai oleh perubahan-perubahan pada fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain :
1.      Reaksi elektris pada kulit : meningkat bila terpesona
2.      Peredaran darah : bertambah cepat bila marah
3.      Denyut jantung : bertambah cepat bila terkejut
4.      Pernafasan : bernafas panjang kalau kecewa
5.      Pupil mata : membesar bila marah
6.      Liur : mengering kalau takut atau tegang
7.      Bulu roma : berdiri kalau takut
8.      Pencernaan : mencret-mencret kalau tegang
9.      Otot : menegang dan bergetar saat ketakutan atau tegang
10.  komposisi darah : akan ikut berubah karena emosi yang menyebabkan kaenjar-kalenjar lebih aktif.
B.     Pengaruh Emosi  Terhadap Perilaku dan Perubahan Fisik Indivdu
Dalam pengertian di atas, dikemukakan bahwa emosi itu merupakan warna afektif  yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan – perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. Contohnya: gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan sebagainya. Dibawah ini ada beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu diantaranya sebagai berikut:
1.      Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
2.      Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
3.      Menghambat atau menganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
4.      Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
5.      Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Sedangkan perubahan emosi terhadap perubahan fisik (jasmani) individu dapat dijelaskan dengan gambaran sebagai berikut:
1)      Canon telah mengadakan penelitian dengan sorotan sinar “rontgen” terhadap seekor kucing yang baru selesai makan. Ia melihat bahwa perut besarnya aktif melakukan gerakan yang teratur untuk mencerna makanan. Kemudian dibawa kedepannya seekor anjing yang besar dan buas/galak. Pada saat itu, canon melihat bahwa proses mencerna terhenti seketika, dan pembuluh darah dibagian lambung mengkerut, di samping itu tekanan darahnya bertambah dengan sangat tinggi, ditambah lagi dengan perubahan yang bermacan – macam pada kelenjar – kelenjar seperti bertambahnya keringat dan kekurangan air liur.
Jenis – jenis Emosi dan Dampaknya pada Perubahan Fisik
JENIS EMOSI
PERUBAHAN FISIK
1.      Terpesona
2.      Marah
3.      Terkejut
4.      Kecewa
5.      Sakit/marah
6.      Takut/tegang
7.      Takut
8.      Tegang
1.      Reaksi elektris pada kulit
2.      Peredaran darah bertambah cepat
3.      Denyut jantung bertambah cepat
4.      Bernapas panjang
5.      Pupil mata membesar
6.      Air liur mengering
7.      Berdiri bulu roma
8.      Terganggu pencernaan, otot – otot menegang atau bergetar (tremor)

C.    Ciri - ciri Emosi
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri – ciri sebagai berikut:
1.      Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir.
2.      Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
3.      Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Mengenai ciri – ciri emosi ini dapat juga dibedakan antara emosi anak dengan emosi orang dewasa sebagai berikut.



Karakteristik Emosi Anak dan Dewasa:
Emosi Anak
Emosi Orang Dewasa
1.      Berlangsung singkat dan berakhir tiba – tiba
2.      Terlihat lebih hebat/kuat
3.      Bersifat sementara/dangkal
4.      Lebih sering terjadi
5.      Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya
1.      Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat
2.      Tidak terlihat hebat
3.      Lebih mendalam dan lama
4.      Jarang terjadi
5.      Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikannya




Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
1.      Ciri-ciri emosional usia 12-15 tahun:
1)    Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka,
2)   Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri,
3)    Kemarahan biasa terjadi,
4)   Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan ingin selalu menang sendiri,
5)    Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif.

2.      Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun
1)   “Pemberontakan” remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa,
2)   Banyak remaja mengalami konflik dengan orang tua mereka,
3)   Sering kali melamun, memikirkan masa depan mereka.

D.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Sejumlah penelitian tentang emosi remaja menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dimana itu menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Kemampuan mengingat juga mempengaruhi reaksi emosional. Dan itu menyebabkan anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.
Kegiatan belajar juga turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain yaitu :
1.      Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2.      Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain. Anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
3.      Belajar dengan mempersamakan diri
Anak menyamakan dirinya dengan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. Yaitu menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama.

4.    Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka, setelah melewati masa kanak-kanak.
5.    Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasa membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak menuju masa remaja. Mendekati berakhirnya remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang dan telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung yang disembunyikan. Contohnya, seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.
Para remaja semasa kanak-kanak, mereka diberitahu atau diajarkan untuk tidak menunjukan perasaan-perasaannya, entah perasaan takut ataupun sedih. Akhirnya seringkali mereka takut dan ingin menangis tetapi tidak berani menunjukan perasaan tersebut secara terang-terangan. Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan mereka merasa perlu menyembunyikan perasaan-perasaannya. Tidak hanya perasaan-perasaannya terhadap orang lain saja, namun pada derajat tertentu bahkan ia dapat kehilangan atau tidak merasakan lagi.
Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.

E.     Pengelompokan Emosi
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).
1.      Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2.      Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai  alasan – alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, diantaranya :
1)      Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk ; (a) rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah, (b) rasa gembira karena mendapatkan sesuatu kebenaran, (c) rasa puas karena dapat suatu menyelesaikan persoalan – persoalan ilmiah yang harus dipecahkan
2)      Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik nersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti (a) rasa solidaritas, (b) persaudaraan (ukhuwah), (c) simpati, (d) kasih sayang dan sebagainya.
3)      Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai – nilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya, (a) rasa tanggung jawab (responsibility), (b) rasa bersalah apabila melanggar norma, (c) rasa tentram dalam mentaati norma.
4)      Perasahan keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
5)      Perasaan Ketuhanan, salah satu kelebihan manusia  sebagai makhluk Tuhan dianugrahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragana). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai homo divinans dan homo realigius, yaitu sebagai makhluk yang berketuhanan dan beragama.
F.     Teori –  teori Emosi
Canon Bart merumuskan teori tentang pengaruh fisilogis terhadap emosi. Teori ini menyatakan bahwa situasi menimbulkan rangkaian pada proses syaraf. Suatu situasi yang saling mempengaruhi antara thalamus (pusat penghubung antara bagian bawah otak dengan susunan urat syaraf di satu pihak dan alat keseimbangan atau cerebellum dengan Creblar Cortex) bagian otak yang terletak di dekat permukaan sebelah dalam dari tulang tengkorak, suatu bagian yang terhubung dengan proses kerjanya pada jiwa taraf tinggi, seperti berpikir).
            Menurut teori James dan lange, bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya, menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira, lari itu karena takut, dan berkelahi itu karena marah.
            Lindsley mengemukakan teorinya yang disebut “Activition Theory” (teori penggerakan). Menurut teori ini emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak. Maka hal itu menimbulkan emosi.
            John B. Waston mengemukakan bahwa ada tiga pola dasar emosi, yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger, and love). Ketiga jenis emosi tersebut menunjukkan respons tertentu pada stimulus tertentu pula, tetapi kemungkinan terjadi pula modifikasi (perubahan).
BAB III
PENUTUP

Emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam) dan pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Rasa takut atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah atau tekanan darah, dan sistem pencernaan mungkin berubah selama pemunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak senang akan menghambat atau mengganggu proses pencernaan. Jadi, hubungan antara emosi dengan tingkah laku remaja berdampak pada sistem organ tubuh remaja itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

Yusuf LN, Syamsu. 2011.  Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.
Sarwono, Sarlito W. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Press.